Oktober 10, 2010

KONSEPSI KELESTARIAN HUTAN BAGIAN I (1713-1967)


Dengan perjalanan konsep pengelolaan (management) yang menurut Davis dan Johnson (1987), dimulai sejak saat manusia mulai memikirkan masa depannya, yaitu pada saat umat manusia mulai berhadapan dengan berbagai keterbatasan dalam memanfaatkan sumber alam guna mencukupi kebutuhannya. Dalam pengelolaan hutan, prinsip ini pada mulanya diwujudkan dalam prinsip (azas) kelestarian hasil (sustained yield principles) yang untuk pertama kalinya diuraikan secara tegas dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 di Perancis, prinsip ini sebenarnya telah mulai dirintis sejak dikeluarkannya Ordonance of Melun tahun 1376 (Osmaston, 1968).
Konsep kelestarian hutan muncul pada paradigma timber management yang wacanannya muncul pada abad ke-9 ketika hutan di Eropa Tengah telah hancur oleh pelaksanaan timber extraction. Dalam paradigma timber management dicirikan dengan “asas kelestarian hasil” (sustained yield principle) yang pertama kali diwacanakan para pemilik industri perkayuan. Karena memerlukan kepastian pasokan bahan baku agar regu kerja dan peralatan yang telah dibelinya dapat bekerja secara penuh demi efisiensi pabrik, alat-alat dan buruh yang telah dimiliki. Oleh karena itu sangat mungkin bahwa wacana tersebut justru mucul dari para industrialis, sebab kalau bahan baku yang diterima di bawah kebutuhan, perusahaannya akan mengalami kerugian, atau paling tidak keuntungan yang diperoleh tidak optimal. Dengan keadaan seperti itu menyebabkan asas kelestarian hutan muncul dan menjadi faktor yang semakin penting dalam penglolaan hutan. Oleh karena itu mudah dimengerti mengapa konsep kelestarian pengelolaan hutan dari dulu sampai sekarang selalu mengalami perubahan.
1. KONSEP KELESTARIAN HUTAN
1.1. Von Carlowitz tahun 1713 “Sylvicultura Oeconomica”
Istilah kelestarian di kehutanan sebenarnya sudah cukup lama dikenal dari konsep kelestarian hasil pada tahun 1713 yang digagas oleh Von Carlowitz dengan buku “Sylvicultura Oeconomica” yakni ekonomi dan petunjuk silvikultur yang menjelasan secara menyeluruh bagaimana bentuk pengelolaan yang baik agar tidak terjadinya kelangkaan kayu. Untuk itu hutan perlu dikelola dengan sistem silvikutur dalam mengelola tanah yang tandus agar dapat menghasilkan kembali hasil hutan berupa kayu. Kegiatan yang dilakukan mulai dari pembenihan, pemeliharaan dan penanaman bibit melalui kegiatan budidaya terencana, yang dimulai dari kegiatan pengumpulan benih dari biji pohon, penyiapan tanah untuk penanaman serta perawatan bibit. Selain itu jelaskan juga cara mengendalikan penebangan kayu untuk setiap tahap pertumbuhan, yang dimulai dari jenis kayu daun jarum dan jenis pohon-pohon lainnya. Dalam buku ini, juga ditulis bagaimana mengelola jenis pohon lebih lanjut agar semua kebutuhan akan kayu tercukupi, misalnya untuk pembuatan kayu bangunan, pabrik bir, mapun kegiatan peleburan pertambangan Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya hutan agar tetap berkelanjutan.
1.2. Heinrich Von Cotta Tahun 1816
Pada tahun 1816 Heinrich Von Cotta menulis perlunya hasil hutan yang kurang lebih sama (konstan) setiap tahuan agar sulpy bahan bagi industry perkayuan dapat terjamin. Dengan demikian industry kayu tidak perlu khawatir akan kekurangan bahan baku yang dapat menjadi penyebab kebangkrutan usahanya. Tulisan Cotta tersebut sangat berpengaruh di kehutanan, yang kemudian dikenal sebagai asas kelestarian hasil (sustained yield principle) yang menjadi landasan untuk setiap pengelolaan hutan di seluruh dunia. Pengertian kelestarian menurut Cotta tersebut masih relatif sederhana, yakni adanya hasil kayu tahunan yang sama dan kekal, maka potensi kayu didalam hutan harus tidak mengalami penurunan dengan kata lain potensi hutan harus lestari.
Munculnya wacana kelestarian hasil hutan sampai terbentuk sistem yang mapan cukup panjang, yaitu dari abad ke-9 sampai abad ke-18. Pada awal abad ke-19 COTTA menerbitkan sebuah buku berjudul Anweisung zum Waldbau (Petunjuk Silvikultur, 1816), yang kemudian sangat bermanfaat bagi para rimbawan di lapangan untuk mengatur perngelolaan hutannya sesuai dengan kebutuhan asas kelestarian. Dengan telah dirumuskannya sistem pengelolaan hutan yang berlandaskan pada asas kelestarian hasil, maka mulailah paradigma baru pengelolaan hutan, yaitu perubahan dari timber exitraction menjadi timber management. Kalau di dalam timber extraction hanya ada tiga macam kegiatan, yaitu menebang, mengolah dan menjual kayu, maka di dalam timber management ada lima macam kegiatan, yaitu (Simon, 2010):
1. Pembangunan atau penanaman hutan (forest establishment)
2. Pemeliharaan, penjagaan dan peningkatan kualitas tanaman hutan (forest culture)
3. Pemanenan (harvesting)
4. Pengolahan hasil hutan (processing), dan
5. Pemasaran hasil hutan (marketing).
1.3. Consevation Code Tahun 1938
Dalam Conservation Code diterangkan bahwa defenisi kelestarian hasil adalah pengelolaan kawasan hutan tertentu yang jelas status pemilikannya dengn luas wilayah yang ekonomis dan memiliki sistem pengelolaan yang jelas berdasarkan rencana kerja yang rasional. Sistem pengelolaan ini harus pula dilengkapi dengan petunjuk kerja yang lengkap dan baik, seperti metode inventore, sistem perhitungan etat, cara permudaan dan penjarangan, sistem penebangan dan pengangkutan, organisasi teritorian dan personalia, sistem administasi dan keuangan, sistem pemasaran dan sebagainya.
Defenisi kelestarian hutan menurut Conservation Code kemudian diperbaharui oleh Asosiasi Rimbawan Amarika (Society of American Foresters) pada tahun 1958 bahwa kelestarian hutan hutan sebagai suatu pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu yang berkesinambungan dengan selalu menyeimbangkan antara pertumbuhan dan panenan. Namun demikian perbandingan antara pertumbuhan dan panenan tidak harus bersifat tahunan, tetapi dapat dilakukan untuk satu periode tertentu (3 atau 5 tahun).
1.4. Knuchel Tahun 1953
Knuchel menerangakan bahwa suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari apabila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang dilakukan terhadap tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Namun Knuchel juga menekankan bahwa kelestarian hutan tudak hanya memperhatikan volume hasil yang tetap jumlahnya tetapi juga harus memasukan bentuk dan kualita batang serta nilai uang yang dihasilkan. Knuchel menyadari bahwa merancang hasil tebangan yang selalu sama setiap tahun tidaklah mudah, dan tidak lagi amat penting.
1.5. Osmaston Tahun 1967
Osmaston mendefinisikan pengertian kelestarian sebagai suplai hasil hutan yang teratur dan berkesinambungan sesuai kapasitas maksimal suatu kawasan hutan. Defenisi tersebut sudah jauh berkembang dibandingkan dengan defenisi kelestarian hasil hutan yang ditulis oleh Cotta. Kalau Cotta hanya memusatkan kayu sebagai hasil hutan utama, maka defenisi Osmaston sudah memasukkan semua jenis hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, baik yang dapat dinilai dengan uang (tangible) maupun tidak (intangible). Osmaston juga mendefenisikan berbagai tipe pengelolaan hutan sebagi berikut (Simon, 2010) :
1). Hasil integral (integral yields), yaitu bila hutan disusun atas pohon dengan umur yang sama, dan kemudian ditebang lalu dipermudakan pada waktu yang sama pula. Umumnya hanya berlaku untuk kepemilikan hutan yang kecil, khususnya dengan daur pendek dan menengah. Di kehutanan daur menengah berkisar antara 30 sampai 50 tahun, sedangkan daur pendek dapat mulai 8 sampai 25 tahun. Untuk daur panjang penebangan dilakukan setelah tegakan berumur 60 sampai 100 tahun atau lebih.
2). Hasil yang bergiliran (intermitten yields), yaitu bila dalam kawasan hutan ada berbagai kelas umur sehingga pohon yang menyusun hutan tersebut masak setelah mencapai umur tertentu, kemudian ditebang pada saat tertentu pada waktu ada tegakan yang tekah mencapai umur masak tebang.
3). Hasil tahunan, bila selalu ada kayu yang siap ditebang setiap tahun. Tipe ke tiga inilah yang banyak dianut untuk mengelola hutan tahunan, khususnya untuk menghasilkan kayu perkakas dengan daur menengah atau daur panjang.

1 komentar: