September 28, 2013

Selayang Pandang TAHURA Sulteng

Taman Hutan Raya (grand forest park) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam selain Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Fungsinya hampir mirip dengan Kebun Raya meskipun memiliki perbedaan terutama dalam hal koleksi tanaman. Daerah Sulawesi Tengah memliki salah satu Taman Hutan Raya (TAHURA), secara geografis terletak di sekitaran wilayah kota Palu yakni di sebelah Timur Kota Palu dan di Sebelah Utara Ibu Kota Kabupaten Sigi.

 Pada tahun 1995, Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No: 461/ Kpts-II/1995 tertanggal 4 September 1995, untuk menetapkan satu kawasan konservasi seluas 8.100 Ha, dengan sebutan Taman Hutan Raya (Tahura) Palu. Membelah dua wilayah administrasi pemerintahan, Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Tahura sebagai kawasan konservasi, memiliki batasan dan larangan yang tak boleh dilanggar siapapun, termasuk, larangan memasuki kawasan itu selain tujuan penelitian, pendidikan dan rekreasi serta wisata alam.
Setelah dilakukan tata batas maka pada tahun 1999 Kawasan Tahura ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 24/Kpts-II/1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang Penetapan Kawasan Taman Hutan Raya Palu, dengan luas ± 7.128 Ha.  Kawasan Tahura terbentuk dari hasil penggabungan Cagar Alam Poboya seluas 1.000 Ha,  lokasi Pekan Penghijauan Nasional (PPN) XXX atau Hutan Wisata Kapopo seluas 128 Ha dan kawasan Hutan Lindung Paneki seluas 6.000 Ha.
Sejak diterbitkanya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Kawasan Tahura Palu, pengelolaan kawasan dan potensinya masih terfokus pada lokasi eks. PPN XXX yang saat ini berubah nama menjadi Hutan Wisata Alam Kapopo dengan luas 128 Ha. Sedangkan pengelolaan kawasan lainnya masih terbatas pada kegiatan penataan batas kawasan seperti pemeliharaan batas fisik kawasan serta pengamanan kawasan.
Penyelenggaraan dan pengelolaan  Kawasan Tahura Palu mulai penunjukan hingga proses penetapannya tahun 1998/1999 diurus oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Palu. Setelah penetapan Kawasan Tahura Palu, pengurusannnya dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah Bidang Konservasi Hutan hingga akhir tahun 2009. Sejak Tahun 2010 hingga sekarang, pengurusan TAHURA Palu dilaksanakan oleh UPTD TAHURA,  berdasarkan Peraturan Gubernur  (Pergub) Sulawesi Tengah Nomor 05 Tahun 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas dan Badan Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
Kawasan Tahura Palu khususnya yang berada di wilayah Kota Palu, lebih dipermantap keberadaannya sebagai kawasan lindung untuk tujuan konservasi flora dan fauna, kawasan pariwisata alam, perlindungan sumber-sumber air, kawasan rawan bencana longsor sesuai PERDA RTRW Kota Palu Periode Tahun 2010-2030.
Read more »»  

April 24, 2013

Pengembangan Teori Dalam Penelitian Ilmiah


Dalam penelitian terkadang peneliti menyatakan Teori dalm konstruksi (membangun) pengetahuan, sikap atau keterampilan berdasarkan pengalaman, pengetahuan yang telah ada sebelumnya, serta keserasian dalam lingkungannya. Jadi bersifat subyektif. Namun kalau apa yang dibangunnya itu dapat diterima oleh lingkungannya, maka terjadilah gejala yang dikenal dengan inter-subyektivitas.
Teori merupakan kumpulan konsep/konstruk, batasan,dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang suatu fenomena/gejala, dengan merinci hubungan-hubungan antarvariabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena/gejala tersebut. Sehingga penggunaan teori sesungguhnya sudah dilakukan pada awal riset sebagai analisis dasar teoritik dari subjek. Sehingga dalam beberapa pedoman penulisan karya ilmiah, teori dikaji dalam menjelaskan variabel yang diteliti, misalnya: kajian teori, tinjauan pustaka, studi literatur, dan sebagainya.
Dalam pengembangan teori dalam penelitian antara  TEORI dan DATA memerlukan analisis kritis dan kreatifitas. Bagaimana peneliti berfikir. Dialog berulang-ulang yang dilakukan peneliti antara teori dan data akan memerlukan analisis kritikal dan kreatif. Definisi dan penilaian merupakar interaksi yang konstan. Kita mendefenisikan ide-ide kita sebagai suatu teori, mengembangkan ide-ide baru dari teori itu, menggunakan ide-ide tersebut untuk pengukuran, dan mendefinisikan kembali teori-teori itu di dalam suatu sintesis baru. Namun demikian interaksi antara definisi dan penilaian harus didorong, dipercepat dan dibahas oleh analisis kritikal. Analisis kritikal merupakan proses landasan yang harus kita lakukan secara terus-menerus untuk membuat definisi-definisi tepat dan tidak rancu, dan penilaian tidan bias.
Banyak diantara konsep-konsep yang bernilai memerlukan banyak pengukuran untuk mendefinisikannya atau tidak dapat diukur secara langsung tetapi dijelaskan menggunakan teori. Oleh karena itu perlu difahami metode-metode untuk menganalisis konsep-konsep yakni bagaimana suatu sintesis baru dibuat setalah melakukan penelitian, dan bagaimana sintesis dapat dinilai.




 Gambar 1. Siklus Penelitian
Pemahaman dimulai dari diskripsi tahap-tahap proses penelitian yang dapat diikuti. terutama pada tahap perencanaan ketika aktivitas adalah bagaimana menganalisis permasalahan dan bagaimana memecahkannya. Proses perencanaan penelitian meliputi 5 proses yaitu: (1) mendefinisikan pertanyaan penelitian, (2) menggunakan kreativitas untuk membentuk ide-ide baru, (3) menyakinkan bahwa penelitian yang dirancang mempunyai niiai penting  dibanding   pengetahuan yang sebelumnya sudah ada, (4) meyakinkan bahwa rencana penelitian dapat dilakukan dan dan dapat diselesaikan, (5) menentukan bagaimana kesimpulan akan dirumuskan.
Read more »»  

April 20, 2013

Nilai Barang dan Jasa Hutan part I

Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasaan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Johnson, 1987).
Pentingnya pengetahuan terhadap nilai (value) sesuatu agar mendapatkan total nilai dari item nilai-nilai aktiva yang berbeda-beda agar dapat dijumlahkan yang diartikan total nilai tersebut sebagai informasi yang baik dan berguna dibutuhkan sebagai kepentingan dalam pengambilan keputusan. pada umumnya nilai suatu barang dan jasa dilihat dalam nilai pasar. Nilai pasar yang dimaksud dalah jika semakin langka atau semakin dibutuhkan barang atau jasa maka semakin tinggi nilainya.
Sesungguhnya penilaian barang atau jasa pada  umumnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan barang/jasa yang diperdagangkan pasar (traded in the market) dan pendekatan barang/jasa yang tidak dapat diperdagangkan pasar (non traded in the market) yang dapat dijelaskan dalam wujud yang dihasilkan hutan sebagai berikut :
1.      Traded in the market merupakan suatu nilai yang diperdagangkan dan laku dipasar. Nilai hasil barang hutan yang laku berupa kayu, non kayu yakni Rotan, madu, buah-buahan dan lain-lain. Sementara untuk jasa lingkungan dilihat dari kawasan hutan wisata untuk masuk kedalamnya dengan membayar karcis. Penilaian ini tidak pasti atau nilainya ditentukan sendiri oleh pelaku atau yang mau membayar. dalam penentuan nilai berdasarkan kebutuhan pasar yakni setiap orang berbeda atas kesediaan membayar suatu produk atau jasa, hal ini disebut Willingness To Pay.
2.      Non traded in the market merupakan barang atau jasa yang tidak laku dijual dipasar atau terkadang nilainya memiliki nilai nol (zero value). Dalam hal ini barang dan jasa yang tidak laku pada dasarnya dibutuhkan oleh manusia tetapi untuk memanfaatkannya tidak perlu membayar. Kelompok ini berupa barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan, seperti oksigen (O2), dan fungsi hutan sebagai penyangga/pelindung untuk menahan banjir, erosi dan dampak bencana lainnya. Namun dalam konsep ekonomi tidak semua barang dan jasa yang masuk non traded in the market memiliki “nilai nol”, hal ini dapat mempunyai nilai ketika barang dan jasa tersebut dproksi berdasarkan perhitungan dampak jika barang dan jasa tersebut hilang atau rusak.
Read more »»  

Oktober 10, 2010

KONSEPSI KELESTARIAN HUTAN BAGIAN I (1713-1967)


Dengan perjalanan konsep pengelolaan (management) yang menurut Davis dan Johnson (1987), dimulai sejak saat manusia mulai memikirkan masa depannya, yaitu pada saat umat manusia mulai berhadapan dengan berbagai keterbatasan dalam memanfaatkan sumber alam guna mencukupi kebutuhannya. Dalam pengelolaan hutan, prinsip ini pada mulanya diwujudkan dalam prinsip (azas) kelestarian hasil (sustained yield principles) yang untuk pertama kalinya diuraikan secara tegas dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 di Perancis, prinsip ini sebenarnya telah mulai dirintis sejak dikeluarkannya Ordonance of Melun tahun 1376 (Osmaston, 1968).
Konsep kelestarian hutan muncul pada paradigma timber management yang wacanannya muncul pada abad ke-9 ketika hutan di Eropa Tengah telah hancur oleh pelaksanaan timber extraction. Dalam paradigma timber management dicirikan dengan “asas kelestarian hasil” (sustained yield principle) yang pertama kali diwacanakan para pemilik industri perkayuan. Karena memerlukan kepastian pasokan bahan baku agar regu kerja dan peralatan yang telah dibelinya dapat bekerja secara penuh demi efisiensi pabrik, alat-alat dan buruh yang telah dimiliki. Oleh karena itu sangat mungkin bahwa wacana tersebut justru mucul dari para industrialis, sebab kalau bahan baku yang diterima di bawah kebutuhan, perusahaannya akan mengalami kerugian, atau paling tidak keuntungan yang diperoleh tidak optimal. Dengan keadaan seperti itu menyebabkan asas kelestarian hutan muncul dan menjadi faktor yang semakin penting dalam penglolaan hutan. Oleh karena itu mudah dimengerti mengapa konsep kelestarian pengelolaan hutan dari dulu sampai sekarang selalu mengalami perubahan.
1. KONSEP KELESTARIAN HUTAN
1.1. Von Carlowitz tahun 1713 “Sylvicultura Oeconomica”
Istilah kelestarian di kehutanan sebenarnya sudah cukup lama dikenal dari konsep kelestarian hasil pada tahun 1713 yang digagas oleh Von Carlowitz dengan buku “Sylvicultura Oeconomica” yakni ekonomi dan petunjuk silvikultur yang menjelasan secara menyeluruh bagaimana bentuk pengelolaan yang baik agar tidak terjadinya kelangkaan kayu. Untuk itu hutan perlu dikelola dengan sistem silvikutur dalam mengelola tanah yang tandus agar dapat menghasilkan kembali hasil hutan berupa kayu. Kegiatan yang dilakukan mulai dari pembenihan, pemeliharaan dan penanaman bibit melalui kegiatan budidaya terencana, yang dimulai dari kegiatan pengumpulan benih dari biji pohon, penyiapan tanah untuk penanaman serta perawatan bibit. Selain itu jelaskan juga cara mengendalikan penebangan kayu untuk setiap tahap pertumbuhan, yang dimulai dari jenis kayu daun jarum dan jenis pohon-pohon lainnya. Dalam buku ini, juga ditulis bagaimana mengelola jenis pohon lebih lanjut agar semua kebutuhan akan kayu tercukupi, misalnya untuk pembuatan kayu bangunan, pabrik bir, mapun kegiatan peleburan pertambangan Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya hutan agar tetap berkelanjutan.
1.2. Heinrich Von Cotta Tahun 1816
Pada tahun 1816 Heinrich Von Cotta menulis perlunya hasil hutan yang kurang lebih sama (konstan) setiap tahuan agar sulpy bahan bagi industry perkayuan dapat terjamin. Dengan demikian industry kayu tidak perlu khawatir akan kekurangan bahan baku yang dapat menjadi penyebab kebangkrutan usahanya. Tulisan Cotta tersebut sangat berpengaruh di kehutanan, yang kemudian dikenal sebagai asas kelestarian hasil (sustained yield principle) yang menjadi landasan untuk setiap pengelolaan hutan di seluruh dunia. Pengertian kelestarian menurut Cotta tersebut masih relatif sederhana, yakni adanya hasil kayu tahunan yang sama dan kekal, maka potensi kayu didalam hutan harus tidak mengalami penurunan dengan kata lain potensi hutan harus lestari.
Munculnya wacana kelestarian hasil hutan sampai terbentuk sistem yang mapan cukup panjang, yaitu dari abad ke-9 sampai abad ke-18. Pada awal abad ke-19 COTTA menerbitkan sebuah buku berjudul Anweisung zum Waldbau (Petunjuk Silvikultur, 1816), yang kemudian sangat bermanfaat bagi para rimbawan di lapangan untuk mengatur perngelolaan hutannya sesuai dengan kebutuhan asas kelestarian. Dengan telah dirumuskannya sistem pengelolaan hutan yang berlandaskan pada asas kelestarian hasil, maka mulailah paradigma baru pengelolaan hutan, yaitu perubahan dari timber exitraction menjadi timber management. Kalau di dalam timber extraction hanya ada tiga macam kegiatan, yaitu menebang, mengolah dan menjual kayu, maka di dalam timber management ada lima macam kegiatan, yaitu (Simon, 2010):
1. Pembangunan atau penanaman hutan (forest establishment)
2. Pemeliharaan, penjagaan dan peningkatan kualitas tanaman hutan (forest culture)
3. Pemanenan (harvesting)
4. Pengolahan hasil hutan (processing), dan
5. Pemasaran hasil hutan (marketing).
1.3. Consevation Code Tahun 1938
Dalam Conservation Code diterangkan bahwa defenisi kelestarian hasil adalah pengelolaan kawasan hutan tertentu yang jelas status pemilikannya dengn luas wilayah yang ekonomis dan memiliki sistem pengelolaan yang jelas berdasarkan rencana kerja yang rasional. Sistem pengelolaan ini harus pula dilengkapi dengan petunjuk kerja yang lengkap dan baik, seperti metode inventore, sistem perhitungan etat, cara permudaan dan penjarangan, sistem penebangan dan pengangkutan, organisasi teritorian dan personalia, sistem administasi dan keuangan, sistem pemasaran dan sebagainya.
Defenisi kelestarian hutan menurut Conservation Code kemudian diperbaharui oleh Asosiasi Rimbawan Amarika (Society of American Foresters) pada tahun 1958 bahwa kelestarian hutan hutan sebagai suatu pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu yang berkesinambungan dengan selalu menyeimbangkan antara pertumbuhan dan panenan. Namun demikian perbandingan antara pertumbuhan dan panenan tidak harus bersifat tahunan, tetapi dapat dilakukan untuk satu periode tertentu (3 atau 5 tahun).
1.4. Knuchel Tahun 1953
Knuchel menerangakan bahwa suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari apabila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang dilakukan terhadap tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Namun Knuchel juga menekankan bahwa kelestarian hutan tudak hanya memperhatikan volume hasil yang tetap jumlahnya tetapi juga harus memasukan bentuk dan kualita batang serta nilai uang yang dihasilkan. Knuchel menyadari bahwa merancang hasil tebangan yang selalu sama setiap tahun tidaklah mudah, dan tidak lagi amat penting.
1.5. Osmaston Tahun 1967
Osmaston mendefinisikan pengertian kelestarian sebagai suplai hasil hutan yang teratur dan berkesinambungan sesuai kapasitas maksimal suatu kawasan hutan. Defenisi tersebut sudah jauh berkembang dibandingkan dengan defenisi kelestarian hasil hutan yang ditulis oleh Cotta. Kalau Cotta hanya memusatkan kayu sebagai hasil hutan utama, maka defenisi Osmaston sudah memasukkan semua jenis hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, baik yang dapat dinilai dengan uang (tangible) maupun tidak (intangible). Osmaston juga mendefenisikan berbagai tipe pengelolaan hutan sebagi berikut (Simon, 2010) :
1). Hasil integral (integral yields), yaitu bila hutan disusun atas pohon dengan umur yang sama, dan kemudian ditebang lalu dipermudakan pada waktu yang sama pula. Umumnya hanya berlaku untuk kepemilikan hutan yang kecil, khususnya dengan daur pendek dan menengah. Di kehutanan daur menengah berkisar antara 30 sampai 50 tahun, sedangkan daur pendek dapat mulai 8 sampai 25 tahun. Untuk daur panjang penebangan dilakukan setelah tegakan berumur 60 sampai 100 tahun atau lebih.
2). Hasil yang bergiliran (intermitten yields), yaitu bila dalam kawasan hutan ada berbagai kelas umur sehingga pohon yang menyusun hutan tersebut masak setelah mencapai umur tertentu, kemudian ditebang pada saat tertentu pada waktu ada tegakan yang tekah mencapai umur masak tebang.
3). Hasil tahunan, bila selalu ada kayu yang siap ditebang setiap tahun. Tipe ke tiga inilah yang banyak dianut untuk mengelola hutan tahunan, khususnya untuk menghasilkan kayu perkakas dengan daur menengah atau daur panjang.
Read more »»  

Juli 14, 2010

Pembangunan Berkelanjutan


Menurut Mitchell, Setiawan dan Rahmi (2003), bahwa pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future (Masa Depan Bersama) yang disiapkan oleh World Comission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang lingkungan dan Pembangunan) (1987), yang dikenal pula dengan nama Komisi Bruntland, karena ketuanya (Gro Harlem Bruntland) kemudian menjadi Perdana Menteri Norwegia.
Dari Komisi Bruntland menyatakan Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Walaupun demikian, ada pernyataan yang jarang di kutip, yaitu bahwa pembangunan berkelanjutan mempunyai dua konsep kunci. Keduanya adalah :
(1) kebutuhan ; terpenuhinya kebutuhan masyarakat miskin sehingga meminimalisir kesenjangan sosial, dan, (2) keterbatasan dari teknologi dan organisasi sosial yang berkaitan dengan kapasitas lingkungan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang dan masa depan.

Ada tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan lingkungan. Ketujuh tujuan tersebut adalah:
1. Memikirkan kembali makna pembangunan
2. Merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari pada sekedar pertumbuhan). Dalam hal ini pembangunan yang ramah lingkungan.
3. Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi
4. Menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan penduduk tertentu
5. Mengkonservasi dan meningkatkan sumberdaya
6. Merubah arah teknologi dan mengelola resiko
7. Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan

Dalam Pembangunan berkelanjutan ada beberapa Pendekatan yang dapat ditawarkan melalui untuk mencapai sasarannya yakni :
1. Pendekatan Sumberdaya (resouces)
2. Pendekatan Politik dan Kebijakan (Politics & Policy)
3. Pendekatan Ekonomi
4. Pendekatan Sosial dan Budaya.

Dalam pembuatan kebijakan kita harus tetap memasukan tujuan dan pendekatan yang menjadi arah utama dalam pembangunan berkelanjutan. Agenda seting dalam perumusan kebijakan perlu dilakukan dengan proses identifikasi kebutuhan dan permasalahan dari masyarakat yang akan dirumuskan dalam kebijakan lokal, regional dan Nasional.

Manajemen Kolaborasi dan partisipatif antar intitusi yang terintegrasi terhadap pembangunan yang dilakukan salah satu pendekatan penting dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan.

Perlunya dilakukan suatu pola pembagian peran dan kepentingan antara pemerintah, stakeholders, Lembaga-lembaga, Akademisi, Dunia Usaha dan Masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan beberapa hal :
1. Kepentingan atas dasar kunci pembangunan berkelanjutan
2. Kelola pertumbuhan dan perkembangan daerah dari lokal, regional dan nasional
3. Kelola Sumberdaya manusia dan sumberdaya alahmnya
4. kelola ekonomi yang adil dan berkelanjutan
5. Kelola kelembagaan Lokal, Regional dan Nasional sebagai satu kesatuan

Dalam kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran agar kiranya pembangunan yang dilakukan merupakan pembangunan berkelanjutan yang tetap eksist pada konteks kemakmuran rakyat dan lingkungan sebagai sub sistem pembangunan.
Read more »»